perkawinan

Tuhan dalam Keluarga

Jumat, 15 Agustus 2025, Jumat Pekan Biasa XIX
Bacaan: Yos. 24:1-13Mzm. 136:1-3,16-18,21-22,24Mat. 19:3-12.

“Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat 19: 6)

Kutipan Injil di atas adalah jawaban Yesus terhadap orang-orang Farisi yang datang kepada-Nya dan bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”

Pada masa Yesus ada dua aliran pemikiran tentang perceraian. Yang pertama adalah golongan Rabi Shammai. Mereka menafsirkan masalah perkawinan dengan sangat ketat. Berbuat tidak senonoh yang dimaksud dalam Ul 24: 1, yang dijadikan argumen orang-orang Farisi yang mencobai Yesus, adalah perzinahan itu sendiri. Seorang perempuan mungkin berperilaku sama buruknya dengan Izebel yang menganjurkan penyembahan Baal, berencana membunuh nabi Elia, memfitnah Nabot sampai dihukum mati karena suaminya, Ahab, mengingini kebun anggurnya, tetapi kecuali dia bersalah karena perzinahan, tidak akan diceraikan.

Golongan yang kedua adalah golongan pengikut Rabi Hillel. Di dalam menafsirkan Ulangan 24:1, pengikut Hillel percaya bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan istrinya dengan alasan apa saja, seperti yang ditanyakan oleh orang-orang Farisi. Mereka sangat longgar di dalam mengizinkan perceraian. Mereka menganggap bahwa pengertian “tidak senonoh” yang dikatakan dalam Ulangan 24:1 itu bisa berarti apa saja. Membakar roti kurang matang, atau terlalu matang, berjalan sembarangan, berbicara dengan pria asing, berbicara tidak sopan tentang hubungan suaminya, suka bertengkar, dapat menjadi alasan menceraikan isteri.

Terhadap pertanyaan itu Yesus menjelaskan bahwa Musa mengijinkan perceraian hanya untuk sementara waktu, dengan maksud mengontrol kasus perceraian yang meningkat pada masa itu, dengan mengijinkan perceraian, asal suami membuat surat cerai jika ia menceraikan isterinya. Namun Yesus menegaskan bahwa itu terjadi karena ketegaran hati umat Yahudi.

Dengan menolak perceraian oleh suami itu, Yesus menempatkan suami dan istri dalam kedudukan yang sama dalam perkawinan dan mengajarkan bahwa ijin dari Musa yang diberikan untuk waktu tertentu tak dapat menggantikan persatuan tetap dalam perkawinan. Yesus dengan jelas mengajak kita kembali kepada maksud Allah sejak awal mula. Mengutip Kitab Kejadian Yesus berkata bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dan “keduanya akan menjadi satu daging”. Dan “mereka bukan lagi dua, melainkan satu” – partner dengan hak-hak yang sama – tak seorangpun boleh memisahkan apa yang telah dipersatukan oleh Allah.

Berdasar pada ajaran Perjanjian Baru dalam Mrk 10: 1 – 12; Mat 19: 3 – 9; Luk 16: 8; dan 1 Kor 7: 10 – 11, Gereja Katolik mengajarkan bahwa perkawinan adalah Sakramen yang merupakan suatu kontrak yang legal dan sekaligus kudus antara seorang laki-laki dan perempuan, dan pada saat yang sama, merupakan suatu perjanjian dengan Allah. Katekismus Gereja Katolik mengatakan: “Perceraian adalah satu pelanggaran berat terhadap hukum moral kodrat. Hal itu beranggapan dapat memutuskan perjanjian untuk hidup bersama sampai mati, yang telah dibuat dengan sukarela antara suami isteri. Perceraian menghina perjanjian keselamatan, yang tandanya adalah perkawinan sakramental. Mengadakan satu hubungan baru, juga apabila disahkan oleh hukum sipil, menambah dan memperkuat pemisahan. Pihak suami atau isteri, yang menikah lagi, berada dalam perzinaan yang tetap dan publik, (No 2384). Lebih lanjut Katekismus Gereja Katolik mengatkan bahwa perceraian itu asusila juga dengan alasan bahwa ia membawa kekacauan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat,” (2385).

Di masa kini sering muncul pertanyaan, dapatkah dua orang benar-benar hidup bersama satu sama lain sebagai suami dan istri sampai mati? Melihat banyaknya perpisahan dan pernikahan yang gagal, generasi masa kini banyak yang mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Karena itu, banyak negara yang melegalkan perceraian. Permintaannya terlalu banyak. Tapi apakah ini sekadar masalah angka? Bagaimana dengan mereka yang tetap bersama dan dapat dikatakan “berhasil” dalam pernikahan mereka? Pada kenyataannya, jumlah mereka jauh lebih banyak daripada yang telah berpisah.

Sebagai seorang imam selama dua puluh lima tahun, memang tidak banyak pasangan yang saya berkati pernikahannya. Mungkin karena saya tidak berkarya di paroki. Dari semua yang saya berkati tak ada yang memberi kabar bahwa mereka sudah berpisah. Ada beberapa pasangan yang datang mengeluh tentang hidup perkawinan mereka, sejauh ini belum ada juga yang datang kembali dan mengatakan sudah berpisah.

Apa yang bisa kita katakan tentang mereka yang telah menikah selama dua puluh lima, tiga puluh, empat puluh, dan lima puluh tahun atau bahkan lebih? Mereka adalah orang-orang biasa yang saling mengasihi dan menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupan pernikahan mereka. Sayangnya, saat ini, pernikahan yang baik dianggap sebagai pengecualian. Kenyataannya, masih banyak orang yang tetap menikah. Hanya sedikit yang bercerai atau berpisah, hanya mereka lebih berisik dan lebih heboh saja. Pernikahan, seperti yang diajarkan oleh Kitab Kejadian dan Injil, adalah hal yang suci dan tidak dapat dibubarkan dengan cara hukum atau cara manusiawi apa pun.

Pasangan dapat menjalani pernikahan mereka – bukan tanpa banyak kesulitan tetapi dengan banyak bantuan dari Tuhan. Mungkin ada pasangan yang pada dasarnya tidak dapat didamaikan. Tetapi itu sangat jarang dan seharusnya menjadi pengecualian. Menyetujui perceraian sebagai jalan keluar nampaknya jadi jalan pintas. Walau demikian, kita berempati juga kepada mereka yang telah berpisah atau bercerai. Nasihat apostolik Paus Fransiskus tentang cinta dalam keluarga, Amoris Laetitia, membantu kita untuk memahami tantangan yang dihadapi pasangan yang sudah menikah dan bagaimana pernikahan mereka dapat hancur karena berbagai alasan.

Pernikahan bukan hanya sebuah persatuan sekuler yang menghiasi keluarga dengan anak-anak, tetapi juga sebuah persatuan rohani yang memperkaya Gereja dengan para anggotanya. Ini adalah sebuah panggilan untuk melayani umat manusia melalui keluarga. Ini adalah sebuah tindakan penyelamatan yang dihasilkan dari ketaatan pada perintah-perintah Allah.

Apa peran Tuhan dalam pernikahan atau kehidupan keluarga Anda? Apakah Tuhan menjadi pusat hidup keluarga anda?

Tuhan, lindungilah pernikahan dan keluarga-keluarga kami dari segala serangan jahat. Amin.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *