Sabtu, 2 Agustus 2025, Sabtu Pekan Biasa XVII
Bacaan: Im. 25:1,8-17; Mzm. 67:2-3,5,7-8; Mat. 14:1-12.
“Karena sumpahnya dan karena tamu-tamunya…. disuruhnya memenggal kepala Yohanes di penjara dan kepala Yohanes itupun dibawa orang di sebuah talam…. Kemudian datanglah murid-murid Yohanes Pembaptis mengambil mayatnya dan menguburkannya. Lalu pergilah mereka memberitahukannya kepada Yesus.”(Mat 14: 9 – 12)
Injil hari ini mengetengahkan peristiwa yang tragis, yang menampilkan tiga tokoh: Herodes, Herodias, dan Yohanes Pembaptis. Herodes di sini adalah Herodes Antipas (4 SM – 39 M). Ia adalah seorang yang lemah, raja boneka yang hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah. Ia segan terhadap Yohanes Pembaptis karena Yohanes menegurnya dengan keras karena ia menceraikan Phasaelis, istri sahnya, tanpa alasan-alasan yang memadai (menurut hukum Taurat) dan kemudian mengawini Herodias, iparnya. Dengan demikian ia melakukan pelanggaran ganda terhadap Hukum Musa. Kemudian, Herodias seorang perempuan amoral yang rakus, ternoda oleh tiga kesalahan yang secara terbuka dikritik oleh Yohanes. Pertama, ia adalah seorang yang tidak setia dan tidak punya integritas moral. Kedua, ia rakus dan penuh dendam. Ketiga, ia adalah seorang ibu yang jahat yang memperalat puterinya yang masih remaja untuk melakukan pembunuhan, dengan mendorongnya menari pada hari ulang tahun raja di hadapan raja dan tamu-tamunya.
Herodes sendiri sudah mendengar kabar tentang Yesus dan menjadi sangat gelisah. “Inilah Yohanes Pembaptis,” katanya, “Ia telah dibangkitkan dari antara orang mati.” Hati nurani Herodes menghantuinya. Meskipun ia membungkam suara Yohanes, ia tidak dapat membungkam kebenaran yang Yohanes beritakan.
Kebenaran memang meresahkan. Yohanes Pembaptis menyampaikannya dengan jelas dan berani—dan itu mengorbankan nyawanya. Yesus juga menjadi ancaman bagi mereka yang berkuasa, bukan karena Ia mengangkat pedang, tetapi karena Ia menyingkapkan apa yang salah, tidak adil, dan korup. Itulah paradoks kebenaran: meskipun membebaskan, ia juga menyengat; meskipun menyembuhkan, ia menantang.
Di dunia saat ini, kita sering kali tergoda untuk tetap diam atau menyesuaikan diri dengan orang banyak—untuk mencari pengakuan, melindungi reputasi, atau mempertahankan kenyamanan. Seperti Herodes, kita mungkin lebih takut kehilangan muka atau kekuasaan daripada kehilangan jiwa kita. Namun Injil mengingatkan kita: kebenaran tidak bisa ditawar. Kita dipanggil untuk menghidupinya, menyuarakannya, dan—tak jarang—menderita karenanya.
Ada pula peringatan di sini. Herodes “kehilangan akal sehatnya,” bukan hanya secara kiasan, tetapi juga secara moral. Ia membiarkan nafsu, kesombongan, dan ketakutan mengendalikan tindakannya. Seberapa sering kita melakukan hal yang sama—bertindak lebih berdasarkan ego atau citra diri daripada keyakinan? Injil memanggil kita kembali kepada disiplin diri, kejujuran, dan kerendahan hati.
Santo Yohanes Pembaptis mengingatkan kita bahwa ketenaran akan memudar, tetapi kebenaran tetap ada. Herodes dikenang sebagai orang yang lemah dan penakut. Yohanes dikenang sebagai suara yang setia, menyerukan keadilan dan pertobatan.
Di mana suara Anda hari ini? Apakah Anda memikul salib kebenaran dengan berani? Apakah Anda bebas dari rasa takut akan apa yang orang lain pikirkan dan katakan? Semoga kita hidup dengan integritas, berbicara dengan kasih, dan mengikuti Kristus dengan berani—menjaga kepala dan hati kita tetap berakar di dalam Dia.
Tuhan, bantulah aku menghidupi dan menyuarakan kebenaran dengan setia. Amin.