kasih pengampunan

Kasih Membuka Pintu Pengampunan

Kamis, 18 September 2025, Kamis Pekan Biasa XXIV
Bacaan: 1Tim. 4:12-16Mzm. 111:7-8,9,10Luk. 7:36-50.

“Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu,” (Luk 7: 37 – 38).

Perikope Injil hari ini terpampang di hadapan kita seperti sebuah lukisan, begitu hidup sehingga kita hampir dapat melihat warnanya dan gerakannya. Adegan ini berlangsung di rumah Simon orang Farisi, di mana Yesus sedang bersantap. Menurut adat, seorang tamu kehormatan seharusnya disambut dengan ciuman damai, kakinya dibasuh dengan air, dan kepalanya diurapi dengan minyak wangi. Namun Simon, sang tuan rumah, tidak memberikan penghormatan tersebut. Yesus diperlakukan dengan “penghinaan yang sopan,” diundang mungkin karena rasa ingin tahu, bukan karena cinta.

Lalu masuklah seorang perempuan, yang dikenal oleh semua orang sebagai seorang pendosa. Yang ia bawa tidak lain hanyalah air matanya dan sebuah buli-buli pualam. Dengan gerakan kerendahan hati yang mendalam, ia membasahi kaki Yesus dengan air matanya, mengeringkannya dengan rambutnya yang terurai, dan mengurapi kaki-Nya dengan minyak wangi. Dia melanggar semua pranata sosial, melupakan semua orang kecuali Yesus. Dan dalam kerentanannya, dia menemukan belas kasihan.

Di sini kita melihat dua hati yang bertentangan: hati Simon yang puas diri, dan hati perempuan itu, yang terbuka dalam kebutuhan. Simon tidak merasa membutuhkan, jadi dia tidak menunjukkan kasih, dan dia tidak menerima pengampunan. Perempuan itu, yang sadar akan kelemahannya, mencurahkan kasihnya, dan sebagai balasannya, dia menerima pengampunan dan damai.

Inilah paradoks iman kita: orang yang menganggap dirinya benar menutup pintu bagi belas kasih Allah, sementara orang yang menyadari kebutuhannya membuka diri bagi kasih-Nya. Orang-orang kudus mengingatkan kita akan kebenaran ini — Paulus menyebut dirinya “yang terburuk di antara pendosa” (1 Timotius 1:15), Fransiskus dari Assisi mengaku sebagai yang paling malang. Semakin dekat mereka kepada Allah, semakin mereka menyadari kebutuhan mereka akan belas kasihan.

Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing: ketika saya mendengar ungkapan “seorang berdosa”, siapa yang pertama kali saya ingat? Suami atau istri yang selingkuh? Pejabat pemerintah yang korup atau punya simpanan? Pegawai yang tak jujur? Pelacur jalanan? Tetapi ketika Tuhan berkata: “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa,”  Ia tidak hanya berbicara tentang orang-orang yang kita ingat tadi, atau orang-orang lain, tetapi juga SAYA dan ANDA.

Ketika kita mendengar kata “pendosa”, janganlah mengingat orang lain. Ingatlah diri sendiri.

Kita harus katakan kepada diri kita sendiri sendiri, “Ketika saya mendengar kata, “pendosa”, saya harus ingat bahwa saya adalah seorang pendosa.” Sebab jika kita mendengar kata “pendosa” dan yang pertama kita ingat adalah orang lain, maka kita jatuh dalam dosa kemunafikan. Sama seperti Simon, orang Farisi yang puas diri dan merasa benar.

Ketika Tuhan berkata, “Aku datang untuk memanggil orang berdosa,” tidak ada favoritisme. Ia sebenarnya berkata, “Aku datang untuk memanggil semua orang,” sebab kita semua adalah orang-orang berdosa.

Mari kita belajar dari perempuan dalam Injil ini: untuk berlutut di hadapan Yesus dengan segala air mata kita, melepaskan kebanggaan kita, dan membiarkan pengampunan-Nya memulihkan kita. Sebab Allah adalah kasih, dan kemuliaan kasih yang terbesar adalah dibutuhkan.

Tuhan, kasihanilah aku orang berdosa. Amin.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *