Kamis 31 Juli 2025, Peringatan Wajib St. Ignasius Loyola
Bacaan: Kel. 40:16-21,34-38; Mzm. 84:3,4,5-6a,8a,11; Mat. 13:47-53.
“Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama pukat yang dilabuhkan di laut, lalu mengumpulkan berbagai-bagai jenis ikan. Setelah penuh, pukat itupun diseret orang ke pantai, lalu duduklah mereka dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam pasu dan ikan yang tidak baik mereka buang. Demikianlah juga pada akhir zaman: Malaikat-malaikat akan datang memisahkan orang jahat dari orang benar, lalu mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi,” (Mat 13: 47 – 50)
Dalam Injil hari ini Yesus melanjutkan perumpamaan tentang Kerajaan – dan hari ini Ia berbicara tentang pukat yang ditebarkan ke laut dan menangkap segala jenis ikan. Ketika pukat penuh, hasil tangkapan disortir—yang baik disimpan, dan yang tidak baik dibuang. Ini adalah pemandangan yang biasa bagi Yesus, yang sebagian karyanya dilakukan di tepi Danau Tiberias. Namun, pesannya jauh lebih dalam daripada sekadar pukat dan ikan.
Perumpamaan ini bukan hanya tentang memisahkan orang baik dan jahat. Perumpamaan ini tentang diri kita masing-masing. Di dalam setiap orang—bahkan mereka yang ditarik ke dalam pukat Kristus—ada keindahan, dan ada keterpecahan, keretakan. Ada saat-saat kasih yang dipimpin Roh dan saat-saat kita kompromi yang didorong oleh cinta diri.
Sebagaimana diajarkan Ignatius Loyola dalam Latihan Rohaninya, kita dipanggil untuk membedakan (discernment), untuk memperhatikan apa yang menuntun kita kepada Tuhan dan apa yang menjauhkan kita. Proses kedewasaan Kristiani adalah pemurnian hati kita—membiarkan Roh membakar habis segala sesuatu yang menuntun pada kebinasaan agar keindahan Kristus tetap ada.
Matius Sang Penginjil, seorang pemungut cukai yang bertobat, mengakhiri bagian ini dengan gambaran seorang ahli Taurat yang bijaksana yang membawa harta, baik yang baru maupun yang lama. Hal ini juga berbicara tentang perjalanan iman kita. Ignatius, seorang prajurit yang beralih menjadi seorang mistikus, menunjukkan bagaimana Allah mengubah bahkan ambisi dan hasrat menjadi semangat untuk Injil. Ia tidak membuang masa lalu, tetapi membiarkan Allah memurnikannya.
“Dapur api” dalam perumpamaan ini bukanlah ancaman, melainkan sebuah janji: bahwa kerusakan dan keburukan kita tidak akan menjadi penentu. Pada akhirnya, hanya apa yang indah dalam diri kita—apa yang telah dibentuk oleh kasih karunia—yang akan tetap ada. Panggilannya untuk kita adalah membiarkan Allah melakukan pekerjaan ini dalam diri kita, untuk bekerja sama dengan Roh-Nya, dan untuk menjadi “malaikat” bagi satu sama lain—menjadi utusan yang menunjukkan kebaikan dan membimbing orang lain menuju kehidupan.
Tuhan Yesus, terima kasih atas anugerah hidup Santo Ignatius. Semoga aku belajar untuk menjadi bijaksana dan taat seperti saat ia bertemu dengan-Mu dalam hidupnya. Amin.