doa si farisi dan pemungut cukai

Kerendahan Hati di Atas Segalanya

Minggu, 26 Oktober 2025, Minggu Biasa XXX Tahun C
Bacaan: Sir. 35:12-14,16-18Mzm. 34:2-3,17-18,19,232Tim. 4:6-8,16-18Luk. 18:9-14.

“Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini,” (Luk 18: 13)

Suatu ketika seorang wartawan bertanya kepada St. Teresa dari Calcutta, apakah ia pernah tergoda untuk merasa bangga. Ibu Teresa menjawabnya sambil tersenyum, “Bangga tentang apa?” Wartawan itu menjawab, “Mengapa? Tentu saja bangga tentang hal-hal luar biasa yang telah anda lakukan terhadap mereka yang termiskin di antara orang miskin!” Lalu Ibu Teresa menjawab, “Saya tidak pernah tahu kalau saya telah melakukan sesuatu, karena Tuhanlah yang telah bekerja dalam dan melalui para suster serta para relawan.”

Sungguh, kerendahan hati yang sejati menjadi faktor pembeda antara seorang kudus dan seorang pendosa. Jika kita menyombongkan diri karena talenta, karena keluarga kita, reputasi kita, pencapaian kita dalam hidup, Injil hari ini jadi pengingat, agar kita menanggalkan kesombongan itu dan berlaku sungguh-sungguh rendah hati.

Kerendahan hati itu lah yang menjadi pesan sabda Tuhan hari ini. Kerendahan hati yang sejati dan pertobatan atas dosa-dosa kita harus menjadi tanda nyata doa-doa kita.

Bacaan pertama dari Putra Sirakh, merupakan pasangan yang tepat bagi perumpamaan yang dikisahkan dalam Injil. Dalam gambaran yang sangat menonjol dari Putra Sirakh, dikatakan, “Doa orang miskin menembusi awan.” Doa seperti itu didengarkan karena datang dari hati orang-orang yang tahu bagaimana sungguh-sungguh membutuhkan Allah. Meskipun bagi Allah tidak ada favoritisme dan menjawab semua doa, mereka yang tertindas, para yatim piatu, para janda, dan mereka yang paling tidak dapat membantu diri mereka sendiri mendapat perhatian istimewa. Itu pula yang digemakan dalam Mazmur tanggapan hari ini. “Orang yang tertindas berseru, dan Tuhan mendengarkan.”

Dalam bacaan kedua, Paulus yang adalah mantan orang Farisi, seperti pemungut cukai dalam Injil, dengan rendah hati mengakui bahwa pekerjaan-pekerjaannya terpenuhi karena rahmat Allah. Untuk itu ia bersyukur karena ia telah dimampukan untuk “mengakhiri pertandingan dengan baik – ia telah mencapai garis akhir sambil tetap menjaga iman dan mewartakannya.

Dalam Injil hari ini, Yesus menceriterakan sebuah perumpamaan tentang seorang Farisi dan seorang pemungut cukai. Yesus mengingatkan bahwa Allah mendengar doa mereka yang mendekatkan dirinya kepada-Nya dengan rendah hati dan hati penuh penyesalan. Allah tidak mendengar doa orang Farisi itu karena ia mengangkat dirinya sendiri. Memang dalam doa itu ia mengatakan bahwa ia tidak berbuat jahat seperti orang lain. Ia mengatakan kepada Allah bahwa ia bebas dari dosa dan secara detil ia melaksanakan apa yang ditetapkan oleh hukum. Tetapi ia tidak dibenarkan oleh Allah karena ia meninggikan dirinya sendiri. Sebenarnya orang Farisi itu tidak berdoa, tetapi memuji dirinya sendiri di hadapan Allah. Bahkan ia membandingkan diri sendiri dengan orang lain! Sedangkan doa pemungut cukai, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini,” dibenarkan karena ia merendahkan dirinya, mengakui keberdosaannya dan memohon belas-kasih Allah.

Sahabat-sahabat, apakah orang Farisi yang dikisahkan oleh Yesus dalam Injil hari ini sungguh-sungguh buruk? Kita masih dapat belajar daripadanya bagaimana menjalankan perintah-perintah Tuhan. Ia bukan perampok, bukan pezinah, bukan orang lalim, rajin berpuasa, dan taat memberikan derma. Dalam hal-hal tersebut layaklah ia diacungi jempol. Tetapi ia pantas dicela karena kesombongannya dan karena merasa diri paling benar.

Di pihak lain, para pemungut cukai pada masa Yesus biasa dicela karena penyelewengan mereka dalam menarik pajak. Mereka tidak jujur dan korup dan dengan demikian tidak menaati perintah Allah. Dalam hal ini pemungut cukai itu tak patut dicontoh.

Akan tetapi, kita patut mencontoh pemungut cukai dalam Injil hari ini, dalam kerendahan hatinya. Ia mengakui keberdosaannya, mengakui bahwa ia bukanlah apa-apa di hadapan Allah. Maka layaklah ia dibenarkan oleh Allah.

Dengan demikian, si Farisi tidak sepenuhnya tercela dan si pemungut cukai juga tidak sepenuhnya dapat diteladani.

Tak seorangpun pendosa yang tak layak untuk diampuni. Demikian juga tak seorangpun begitu sempurna sehingga tak perlu lagi didoakan. Kita semua perlu mawas diri dan masih perlu didoakan karena kita semua adalah pendosa. Ada kebaikan dalam diri setiap orang, ada dosa pula dalam diri kita masing-masing. Kita hargai kebaikan dalam diri orang lain, dan kita perlu saling koreksi untuk menjadi lebih baik. Kita boleh bersyukur untuk apa yang baik dalam diri kita masing-masing, tetapi perlu juga mawas diri dan dengan jujur serta rendah hati mengakui kekurangan kita. Mari berdoa setiap hari: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”

Tuhan, karuniai kami kerendahan hati, mengakui kebaikan sesama, menyadari dosa dalam diri kami masing-masing, dan berani saling koreksi untuk menjadi lebih baik. Amin.

1 thought on “Kerendahan Hati di Atas Segalanya”

  1. Aloysius Bambang Arka Pranawa

    Renungan yg sangat indah, diuraikan dg jelas dan gamblang, hebatnya disertai contoh riil seperti wawancara dg bunda Theresa. Lanjutkan, semakin baik dan semakin boleh menyentuh dan menggerakkan hati pembaca. Suatu Hati yg tergerak oleh belas kasih.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *