Senin, 4 Agustus 2025, Peringatan St. Yohanes Maria Vianney
Bacaan: Bil. 11:4b-15; Mzm. 81:12-13,14-15,16-17; Mat. 14:13-21.
“Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.” Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” (Mat 14: 15 – 16).
Melalui kisah yang kita baca dalam Injil hari ini, kita diajak untuk menemukan kembali makna sebuah perikop yang terkenal — bukan sebagai mukjizat penggandaan roti saja, melainkan sebagai perumpamaan tentang belas kasih, berbagi, dan awal dari sebuah dunia baru. Yesus, tergerak oleh belas kasih yang mendalam bagi umat manusia yang sakit dan hancur di hadapan-Nya, mengajak para murid untuk berbuat lebih dari sekadar bersimpati. Ia mengajak mereka untuk bertindak. “Kamu harus memberi mereka makan.”
Perintah sederhana ini menantang logika dunia lama, di mana orang-orang lapar diminta untuk mengurus diri sendiri, di mana hanya mereka yang mampu yang dilayani, dan di mana kebutuhan mereka yang paling lemah diabaikan. Yesus mengusulkan sesuatu yang baru: sebuah dunia yang tidak dibangun di atas prinsip jual beli, melainkan di atas pemberian diri dan berbagi. Ketika para murid mempersembahkan sedikit yang mereka miliki, Yesus memberkatinya dan mengembalikannya, bukan langsung memberikannya kepada orang banyak, melainkan kepada para murid untuk dibagikan. Mukjizat itu bukanlah penciptaan roti dari ketiadaan, melainkan transformasi hati dari kekhawatiran menjadi kemurahan hati, dari keegoisan menjadi persekutuan.

St. Yohanes Maria Vianney, yang peringatannya kita rayakan hari ini, menghayati Injil ini dengan kesederhanaan dan keyakinan. Di sebuah paroki kecil di Ars, ia memecah-mecah roti belas kasih Kristus setiap hari, melalui pengakuan dosa, Ekaristi, dan kasih yang tak kenal lelah. Yohanes Maria Vianney, seorang imam yang sederhana, yang berasal dari kampung, dengan kemampuan yang sangat terbatas secara akademis, namun dia adalah seorang yang kontemplatif, terbuka terhadap Roh dan hal-hal rohani, seorang hamba Tuhan sejati (1786-1859). Ia diangkat menjadi pastor paroki di sebuah kota kecil yang terlupakan oleh Tuhan, di mana ia hanya bisa berbuat sedikit kesalahan. Dan ia tidak pernah berbuat salah. Setelah beberapa tahun, semua orang tahu di mana letak kota kecil Ars, dan orang-orang terpelajar, orang-orang penting, serta orang-orang miskin dan orang-orang kecil datang untuk meminta nasihat, pengampunan, dan bantuannya. Ketika akan ditahbiskan ia diragukan karena kurang cemerlang kepandaiannya, bahkan sering dihina sebagai seekor keledai. Menanggapi hal itu ia berkata, “Jika Simson dapat mengalahkan dan membunuh seribu orang Filistin dengan rahang keledai, siapa yang tahu apa yang dapat dilakukan Tuhan dengan seekor keledai utuh sepertiku?” Atas cara itu ia seperti para murid dalam Injil, mempersembahkan sedikit yang ia miliki, dan Allah menjadikannya berbuah limpah. Tak jarang kita terkungkung oleh keterbatasan kita seperti para murid, namun jika yang sedikit dan terbatas itu dipersembahkan kepada Tuhan, akan menghasilkan mukjizat yang berlimpah-limpah.
Dalam setiap Ekaristi, Yesus mengambil hidup kita, memberkatinya, dan mengembalikannya kpeada kita agar kita dapat berbagi dengan sesama. Ketika kita mengikuti teladan-Nya — hidup bukan untuk diri sendiri melainkan untuk kebaikan sesama — kita melihat fajar dunia baru yang dibawa oleh Yesus. Roti itu sungguh dipecah-pecahkan untuk semua. Semoga kita, seperti St. Yohanes Vianney, menjadi roti di tangan Kristus, yang dipecah-pecahkan dan dibagikan untuk kehidupan dunia.
Tuhan, kupersembahkan diriku kepada-Mu, untuk diberkati, dipecah-pecahkan dan dibagikan bagi kehidupan dunia. Amin.