Minggu, 3 Augustus 2025, Minggu Biasa XVIII Tahun C
Bacaan: Pkh. 1:2; 2:21-23; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Kol. 3:1-5.9-11; Luk. 12:13-21.
"Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu,” (Luk 12: 15)
Sabda Tuhan dalam Injil hari ini mengajak kita untuk merenungkan dengan sungguh-sungguh dan jujur tentang apa yang paling kita hargai. Seringkali, hubungan dan kehidupan kita dibangun—namun juga hancur—oleh cara kita mengelola harta benda, terutama jika menyangkut warisan. Banyak dari kita telah menyaksikan bagaimana bahkan keluarga terdekat pun mulai retak setelah orang tua meninggal dunia dan tibalah saatnya untuk “membagi” apa yang ditinggalkan. Cinta digantikan oleh rasa berhak atas ini dan itu, dan “apa yang menjadi milikku” mulai menjadi lebih penting daripada “siapa yang menjadi milikku.”
Realitas menyakitkan ini sudah ada pada zaman Yesus. Dalam Injil hari ini (Lukas 12:13-21), Yesus diinterupsi oleh seorang yang meminta-Nya untuk menyelesaikan perselisihan keluarga tentang warisan. Alih-alih memihak, Yesus menolak menjadi penengah dan justru menggunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam. Ia memperingatkan: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”
Yesus mengalihkan pembicaraan dari keadilan materi ke kejernihan rohani. Masalahnya bukanlah warisan, melainkan keserakahan yang tersembunyi di baliknya—keinginan untuk mengamankan hidup melalui harta benda. Ia menceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang petani kaya yang menikmati panen berlimpah. Masalah pria itu bukanlah ketidakjujuran atau ketidakadilan. Melainkan ia menyimpan segalanya untuk dirinya sendiri. Fokusnya adalah membangun lumbung yang lebih besar dan mengamankan masa depannya. Kesalahan fatalnya? Ia lupa bahwa ia hanyalah manusia biasa. “Hai orang bodoh,” kata Tuhan kepadanya, “pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?
Perumpamaan ini bukan tentang mengutuk kekayaan. Ini tentang menantang cara kita memandangnya. Kejatuhan petani itu bukanlah karena ia memiliki banyak harta, tetapi karena ia hidup hanya untuk dirinya sendiri. Ia menjadi buta terhadap orang-orang di sekitarnya dan tuli terhadap panggilan Tuhan. Harta bendanya menjadi berhala—menghalangi pandangannya terhadap orang lain dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Ia pikir ia hidup dengan baik, tetapi sebenarnya, ia telah berhenti hidup sama sekali.
Kita tidak jauh berbeda. Kita mengagumi orang yang bekerja keras, yang merencanakan masa depan, mengumpulkan kekayaan, lalu pensiun dengan nyaman. Namun, Yesus memperingatkan kita bahwa kesuksesan yang diukur dengan harta bukanlah kesuksesan sama sekali. Satu-satunya kekayaan yang kekal adalah kasih—apa yang kita berikan, bukan apa yang kita simpan. Seperti yang dikatakan Santo Paulus, “Kita tidak membawa sesuatu apa pun ke dalam dunia, dan kita tidak dapat membawa apa pun ke luar” (1 Tim 6:7).
Yesus mendorong kita untuk menjadi “kaya dalam apa yang berharga bagi Allah.” Apa yang berharga bagi Allah? Belas kasih, keadilan, bela rasa, kemurahan hati, dan kesetiaan. Inilah harta yang kekal—warisan kekal yang dapat kita bagikan tanpa takut kehilangan apa pun. Harta itu berlipat ganda, bukan berkurang, ketika diberikan.
Injil diakhiri dengan sebuah pilihan. Kita dapat hidup seperti petani itu, menimbun untuk diri sendiri dan menyebutnya “hidup.” Atau kita dapat membuka tangan kita, membagikan berkat-berkat kita, dan menemukan sukacita yang tak terjamah oleh kematian. Pada akhirnya, apa yang kita miliki akan memudar. Tetapi apa yang kita berikan akan tetap hidup—dalam diri orang lain, dalam kasih, dan dalam diri Allah.
Marilah kita hidup untuk kekayaan sejati, yang membuat kita dekat dengan Tuhan.
Tuhan, semoga aku menjadi kaya dalam hal-hal yang sungguh berharga bagi-Mu. Amin.