tuhan ajarlah kami berdoa

Tuhan, Ajarlah Kami Berdoa

Minggu, 27 Juli 2025, Minggu Biasa XVII Tahun C, Hari Lansia, Kakek dan Nenek Sedunia
Bacaan: Kej. 18:20-33Mzm. 138:1-2a,2bc-3,6-7ab,7c-8Kol. 2:12-14Luk. 11:1-13.

“Tuhan, ajarlah kami berdoa…” [Luk 11: 1]

Hari Minggu ini, saat Gereja merayakan Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia, kita diundang untuk merenungkan khazanah doa—warisan iman yang diwariskan turun-temurun.

Pada zaman Yesus, hari dimulai dengan doa. Seorang Yahudi yang taat akan mengangkat Tallit, kain selendang doa, dan mengangkat hatinya kepada Tuhan dalam Shacharit, doa pagi. Sekarang, pagi kita seringkali dimulai bukan dengan doa, melainkan dengan layar hanphone! Sayang, kita menggantikan percakapan dengan Tuhan dengan gangguan yang tiada habisnya!

Kita mengalami krisis doa. Di dunia yang penuh tuntutan, orang-orang memangkas apa yang terasa perlu—dan doa sering kali menjadi yang pertama disingkirkan. Banyak yang tidak lagi melihat kebutuhannya, menganggap ilmu pengetahuan dan usaha saja sudah cukup. Namun sebenarnya, bukan berarti kita kurang berdoa karena kita telah maju—melainkan karena kita telah salah memahami apa sebenarnya doa itu.

Yesus, yang hidupnya berakar pada doa, menawarkan kita kejelasan. Dalam Injil Lukas, setelah menyaksikan Dia berdoa, para murid bertanya, “Tuhan, ajarlah kami berdoa.” Sesuatu dalam persekutuan-Nya dengan Bapa menggerakkan mereka—bukan rumus atau bantuan. Melainkan kedamaian, integritas, dan kejelasan. Mereka melihat bahwa doa tidak mengubah keadaan terlebih dahulu, melainkan orang yang berdoa.

Doa Bapa Kami bukan sekadar rumus. Doa Bapa Kami adalah inti Injil dalam bentuk doa. Doa ini mengingatkan kita bahwa Allah adalah Bapa—bukan penguasa yang jauh, melainkan Bapa yang penuh kasih, yang terlibat secara mendalam dalam suka dan duka kita. Doa Bapa Kami adalah cermin, yang menunjukkan kepada kita apakah hidup kita mencerminkan kerajaan kasih, keadilan, dan damai Allah.

Kita berdoa, “Dikuduskanlah nama-Mu,” memohon agar kasih Allah—bukan rasa takut atau kuasa—dinyatakan melalui kita. “Datanglah Kerajaan-Mu” berarti hidup menurut aturan Kristus untuk melayani, bukan berkuasa. “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” menantang keserakahan kita dan mengingatkan kita untuk hidup sederhana dan adil. “Ampunilah kami… seperti kami juga mengampuni” mengundang kita ke dalam belas kasihan ilahi yang memulihkan, bukan menghukum.

Akhirnya, “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” menggemakan doa Yesus sendiri di Getsemani. Doa ini mengakui pencobaan hidup dan memohon kekuatan, bukan pelarian, melainkan kasih karunia. Beberapa kali dalam Injil, Yesus mengajak kita untuk berdoa, meyakinkan kita bahwa Bapa Surgawi mendengarkan dan menjawab doa-doa kita. “Apa pun yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, akan diberikan-Nya kepadamu.” Dan dalam sabda-Nya hari ini: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” Jika Anda masih belum menerima jawaban, teruslah berdoa.

Hari ini, marilah kita luangkan waktu sejenak untuk mengenang orang tua dan kakek-nenek kita. Banyak dari mereka telah menghabiskan hidup mereka untuk mengajar kita cara berdoa—dalam keheningan, dengan tekun, terkadang dalam kepedihan, seringkali dengan kasih. Iman mereka yang dihidupi adalah sekolah doa. Gereja mengajak kita untuk menghormati mereka, karena dalam doa-doa mereka, kita sering menemukan awal mula kita sendiri.

Marilah kita kembali ke inti doa. Sebagaimana para murid pernah memohon, kita pun dapat memohon: “Tuhan, ajarlah kami berdoa.” Dan Dia akan melakukannya—karena doa, di atas segalanya, adalah karunia-Nya bagi kita.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *